Belakangan ini, merebak trend jilbab gaul atau kudung gaul. Anggotanya mulai dari anak-anak remaja hingga ibu-ibu yang aktif dalam berbagai kegiatan pengajian. Jilbab gaul ini digandrungi karena alasan modisnya. Maraknya fenomena penggunaan kerudung gaul atau jilbab nyekek oleh para remaja putri dan wanita muslim, boleh jadi disebabkan pengetahuan mereka yang minim mengenai hijab (jilbab). Sehingga mereka hanya ikut-ikutan saja, sebab pemahaman keislamannya belum mumpuni. Propaganda-propaganda yang menyimpulkan bahwa jilbab adalah pakaian adat wanita Arab saja, sampai kepada pelecehan dengan istilah pakaian tradisional. Hingga banyak dari kalangan kaum muslimah termakan olehnya dan meninggalkan jilbab yang syar’i. Peminatnya adalah para wanita yang sudah terlanjur berjilbab tapi tetap ingin tampil modis dan trendi. Mereka ingin celana jeans, kaos-kaos ketat dan pakaian-pakaian minim mereka masih bisa terpakai, meskipun mereka sudah berjilbab. Walhasil, para desainer kawakan yang minim akan ilmu agama, mencoba mengotak-atik ketentuan jilbab syar’i dan mewarnainya sesuka hati dengan berkiblat kepada trend mode di wilayah barat. Mereka tidak segan-segan membawakan semboyan, “Jilbab muslimah masa kini, modis dan trendi” atau semboyan-semboyan lain yang membuat kacau pikiran dan hati para remaja.
Sarlito Wirawan Sarwono (Guru Besar Fakultas Psikologi UI) pernah menyaksikan serombongan ABG perempuan di tempat parkir di basement berlarian sambil tertawa- tawa menuju pintu masuk mal. Khas perilaku ABG-lah di mana pun di dunia ini. Bedanya adalah bahwa mereka berhenti sejenak di depan sliding door mal, melepas jilbab masing-masing, memasukkan jilbab ke ransel, dan melanjutkan berhamburan masuk ke dalam mal. Sejak itu saya berkesimpulan bahwa ternyata jilbab di Malaysia hanya bagian dari aksesori busana yang lazim, tetapi tidak harus dipakai. Sesuai selera dan situasi dan kondisi saja.
Ada pula dikenal dengan trend melepas jilbab. Trend melepas jilbab bukanlah sebagai “pembangkangan” dalam beragama, tetapi sebagai sebuah trendglobal yang niscaya. . Berjilbab merupakan psikologi manusia dalam menyesuaikan diri dengan konteks jamannya. Setiap jaman memberikan tanda dan jawab sendiri, sehingga anak manusia harus mempunyai kreativitas psikologis yang memberikan daya elastis dalam menjawab tanda jaman. Ada yang menganggap bahwa jilbab merupakan tradisi dalam berbudaya, bukanlah khitab agama yang mengharuskan perempuan memakainya. Perempuan post modern saat ini biasa dengan melepaskan jilbabnya. Sekali lagi, bukan berarti membangkang atas ajaran agama, tetapi memang jilbab merupakan trend global yang dipengaruhi jalan politik. Tidak berjilbab mencoba mempertaruhkan jiwa psikologisnya dalam suatu aliran gerak organisasional. Pertaruhan ini akan menjadi sebuah gerak baru ideologis yang mematahkan lautan jilbab sebagai jalan politik yang coba dilanggengkan para aktornya. Para pendukung lautan jilbab pastilah menggunakan banyak argumentasi agama untuk melegitimasi jalan politik jilbabnya dalam mencuri harikonstituen politik yang sedang dijalaninya.Tak berjilbab dengan demikian menjadi “tradisi tanding” yang mencoba bergerak melakukan dekonstruksi atas kemutlakanyang dijalankan secara sewenang-wenang. Kesewenangan dalam berjilbab sudah tidak relevan lagi di tengah laju kehidupan kontemporer, selain karena lemah dalam argumentasinya, juga karena diselingi jalinan politik yang berada dibalik layar.Tradisi tanding ini bisa menjadi trend global abad ke-21 yang mendekontruksi jelajah rezim lautan jilbab yang dikomandoniIran. Oleh karena itu pula makin menguatkan keinginan seorang wanita melepas jilbabnya dengan melihat fakta mutakhir terus memperlihatkan bahwa fenomena melepas jilbab telah melepaskan fanatisme beragama dan berpolitik. Beragama dan berpolitik tidak lagi dimaknai secara monilitik, saklek dan logisentris. Tetapi beragama yang ramah, toleran dan penuh penghargaan.
Sebagian beralasan memakai jilbab karena dipaksakan oleh aturan Perda tentang keharusan berjilbab. Sebagian lagi karena alasan psikologis, tidak merasa nyaman karena semua orang di lingkungannya memakai jilbab. Ada lagi karena alasan modis, agar tampak lebih cantik dan trendi, sebagai respon terhadap tantangan dunia model, Ada juga berjilbab karena alasan politis, yaitu memenuhi tuntutan kelompok Islam tertentu yang cenderung mengedepankan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Seperti diketahui, jumlah perempuan berjilbab di Indonesia kian meningkat dari hari ke hari. Puncaknya terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Namun peningkatan itu bukannya malah disyukuri, tapi disikapi dengan sinis. Seolah fenomena jilbab tak lebih atas dorongan psikologis, modis, politis dan aturan (perda).
Kasus-kasus wanita memilih untuk membuka jilbab karena berbagai alasan begitu pula dengan ketika mereka memilih untuk memakai jilbab yang juga dengan berbagai alas an tergantung dari faktor yang mempengaruhinya.
Seperti di Arab melihat formasi keluarga Arab ketika sedang berjalan-jalan di tempat-tempat umum di Arab Saudi. Sang bapak jalan paling depan, ibu berjalan beberapa langkah di belakangnya, lengkap dengan jilbab-lebat-tutup rapat- hitamnya, sambil menggandeng dua atau tiga anaknya. Namun anggapan Sarlito Wirawan Sarwono (Guru Besar Fakultas Psikologi UI) bahwa perempuan Arab berjilbab karena hakkul yakin akan agamanya sirna ketika dalam suatu penerbangan dari Kairo ke Amsterdam (1976) sejumlah perempuan Arab berjilbab- lebar-tutup-rapat-hitam bergantian masuk toilet dan keluar dari toilet mereka sudah buka jilbab semua. Di bawah jilbab itu ternyata mereka memakai busana dan aksesori bermerek (waktu itu sedang zaman oil boom, jadi orang Arab kaya-raya) dan wajah mereka cantik-cantik (wanita Timur Tengah rata-rata cantik). Ternyata berjilbab atau tidak berjilbab hanyalah pilihan saja. Di Arab lebih baik berjilbab, di Eropa lebih senang buka jilbab. Fenomena Perempuan (Melepas) Jilbab tidak jauh-jauh dari realitas yang ada di seluruh dunia.
Di Indonesia sendiri, jilbab yang digunakan remaja relatif membuka pasang jilbab. Hal ini dikerenakan adanya persepsi yang mengatakan bahwa remaja yang belum berumur 18 tahun ke atas , belum mampu membuat keputusan secara mandiri. Atau ada pula yang memilii persepsi belum dibekali dengan dasar iman yang kuat sehingga seorang melakukan sesuatu karena dorongan atau paksaan di luar dirinya. Contohnya: seorang anak yang belum berumur 18 tahun ke atas memutuskan memakai jilbab karena adanya dorongan dari pihak keluarga atau pihak sekolah yang mewajibkan penggunaan jilbab. Namun, karena belum siap menjalankannya sesuai dengan syariat atau belum memahami nilai dalam penggunaan jilbabnya maka sikap yang diambil bisa saja melepas jilbab diluar lingkungan keluarga dan sekolah karena lebih dominan dipengaruhi oleh teman-temannya dan trend yang ada. Dan tidak lepas pula dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang merasa bahwa kenyamanan yang dia butuhkan tidak dia dapatkan.


2 comments:

  1. memang .. jaman sekarang .. ini juga karena tayangan televisi .. yang bebas mempertontonkan aurat reporter dan lain sebagainya .. MUI kenapa diam saja ya ..

  1. Mendung mendung Cap Gomeh
    Kerudung digawe lemeh

Post a Comment

 

Template Design By:
SkinCorner